Garam Yang Tak Asin

Selama hidup di negeri ini sejak lahir hingga usia hampir mencapai kepala tiga ini saya tidak henti-hentinya dibuat senyum-senyum sendiri di sudut negeri ini. Entah senyum kecut atau senyum ngenes yang pasti negeri ini sering melucu. Saya jadi teringat Ustad Felix Siaw yang kadang mengutip perkataan Cak Nun bahwa banyak yang "nyenengke" di negeri ini yang sering membuat kita ngakak sampai tak terasa air mata merembes ngenes. Seperti ketika mendengar lagi berulang-ulang tentang impor beras dan impor garam dinegeri yang kaya akan dua hal itu. Kalau impor gandum dan impor smartphone itu wajar, wong kita masih belum support sumber daya nya, lha ini garam dan beras.

gambar monyet dari gambar-katakata.com
 Negara ini  2/3 wilayahnya lautan, sumber garam yang sangat melimpah yang gak akan pernah habis selama lautan masih ada. Dengan impor impor garam lagi sebanyak 3,7 juta ton kemarin itu bukan berarti bahwa negara ini tak berusaha untuk mencukupi kebutuhan "uyah" ini, bahkan sejak lama negeri ini sudah berusaha dengan PT Garamnya. Seperti panen  padi yang terkadang gagal panen karena "puso", garam juga gagal panen gara-gara skala prioritas industri ini masih belum bisa lebih besar daripada kereta api cepat jakarta-bandung dan tol antar kota di Jawa.

BUMN seperti garam itu adalah aset bangsa dan jika kita pertanyakan tentang profesionalitas dan daya abdinya terhadap negara maka agak sedikit aneh.  Namun sangat aneh juga jika kita sebagai masyarakat awam tidak menanyakan keprofesionalitas dan pengabdiannya kepada negara tentang importasi garam, khususnya garam industri.

Secara umum garam yang dihasilkan itu dibedakan menjadi garam dapur dan garam industri. Bedanya di mana? Kualitas. Garam dapur itu kualitas 94 persen sampai 98 an persen, bahkan bisa lebih buruk lagi, sedang garam industri bisa lebih dari 99 persen. Nah ini nih yang bikin masalah. Kebanyakan produk garam lokal itu kualitasnya hanya sampai garam dapur sedangkan kebutuhan industri itu naudzubillah sangat banyak. Jadi ada semacam ruang kosong antara produsen garam lokal dan industri yang butuh garam. Ini sebenarnya peluang lho men yang sejatinya PT Garam juga pasti sudah tau dan Presiden juga pasti tau.

gambar: radarmadura.jawapos.com

Dalam sebuah bisnis, khususnya berbagai industri yang membutuhkan garam industri, kualitas bahan adalah hal yang sangat penting, maka keberadaan garam kualitas industri adalah sebuah keharusan. Jika di pasaran lokal tidak ada garam yang spesifikasinya sesuai, maka tidak ada pilihan lain untuk mengimpor garam.

Menurut detik harga garam impor dari Australia adalah 600 rupiah per kilogram, sedangkan garam lokal yang biasa 325-350 rupiah per kilogram sesuai harga pokok produksi (hpp). Namun jika saat panen raya bisa anjlok sampai 200 rupiah/kg bahkan sampai 100 rupiah/kg. Dalam artikel disebutkan teknologi seperti prisma pengering sudah ada di tengah masyarakat garam lokal, yang bisa membuat harga naik karena kualitas juga naik. Namun kualitasnya masih tak sebanding dengan garam impor walaupun harganya sama. Maka jika saya sebagai orang industri jelas saya pilih garam impor.

Lalu gimana kalo begini? Ya tetep kudu bertanya pada PT Garam dan perusahaan-perusahaan garam besar di Indonesia untuk membuat sebuah terobosan agar garam rakyat bisa diserap dengan harga yang layak. Jika dibandingkan dengan Australia dan negara lain yang menggunakan alat berat dengan kapital besar serta berlahan luas, maka petambak garam di sini tidak ada apa-apanya. Normalnya untuk mendapatkan garam yang bagus, selain proses pengkristalan garam dengan evaporasi tradisional kemudian harus dimurnikan lagi, entah sekali atau beberapa tingkat, dengan mekanik, kimia maupun keduanya. Dengan cara itu, dengan ilmu dan biaya yang ada mana bisa petambak garam tradisional memenuhinya. Tak ayal harga dan kualitas garam lokal ya tetap begitu-begitu saja, terus berulang sampai kiamat.

Kenapa petani tambak dan masyarakat garam tidak  menabung untuk alat, belajar untuk metode dan studi banding gitu? Ini adalah pertanyaan yang aneh karena semua itu pasti sudah dilakukan namun perlu dilihat bahwa rakyat petani garam itu buanyak dan gak bisa semuanya, kecuali pemerintah pusat khhususnya kementrial kelautan yang turun langsung ngasih ilmu, modal, mesin dan peraturan yang jelas untuk bisa memacu produksi garam nasional, bukan hanya melarang cantrang sama ngebom kapal ikan (walaupun memang bagus namun masih dangkal ya kelihatannya). Itu pun kalo ada niat dan keberpihakan pada rakyat garam. Kalo tidak? Ya liat aja lah sampai kiamat ya akan begini-begini saja. Kecuali kalo petani se Indonesia semua bersatu bersepakat dan gotong royong untuk bisa  memproduksi garam berkualitas dan konsisten. Jer-Basuki-Mowo-Beyo. Semua hal membutuhkan pengorbanan.

gambar: isw.co.id

Pemerintah tentu memiliki strategi nasional yang tak perlu kita pertanyakan lagi dan pasti ingin mewujudkan cita-cita nasional. Sayangnya semua tetap memiliki keterbatasan terutama soal biaya. Maka dalam mengatasi semua persoalan dibuat skala prioritas, mana yang harus dilakukan dahulu dan mana yang harus dikasih perhatian lebih dulu.

Saya pikir seorang individu seperti saya ini akan sangat mubadzir jika sibuk pusing dan sok-sok an memikirkan problematika nasional, apalagi mengomentari kebijakan pemerintah yang katanya Pancasila itu (dia bilang "Aku Pancasila"). Karena di industri garam lokal ada potensi yang sembunyi di ruang kosong ini, saya mau ngumpulin modal dulu deh. Syukur-syukur bisa menghasilkan duit buat keluarga. Ya ngimpi aja dulu, kita rakyat kecil kan bisanya ngimpi aja dulu. Kalo terwujud ya Alhamdulillah, kalo gak terwujud ya sudah biasa.  Kita lihat juga janjinya sang menko, 2 tahun lagi dari 6 bulan yang lalu, Indonesia baru tak akan impor garam. Kalo terwujud ya Alhamdulillah lagi, kalo gak berarti ingkar janji.




Belum ada Komentar untuk "Garam Yang Tak Asin"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel